Lemahnya Pengawasan, Nelayan Kecil pun Tersingkir
JurnalismeData --- Nelayan kecil di perairan Arafura (ujung timur) dan perairan Natuna (ujung barat Indonesia) mengalami kesulitan menangkap ikan. Mereka kemudian memberanikan diri masuk ke perairan negara tetangga seperti Malaysia atau Papua Nugini.
Masuk ilegal ke perairan negara tetangga, risikonya tinggi, Jika ketahuan aparat keamanan negara sebelah, nelayan bisa ditangkap dan dihukum penjara. Hal yang fatal ditembak mati, seperti yang dialami Sugeng, nelayan asal Merauke yang tewas ditembak aparat Papua Nugini.
Nelayan kecil atau perahu yang berbobot 5 sampai 30 GT (gross tonnage) mengaku kesulitan mendapatkan ikan di perairan Arafura dan Natuna, karena bersaing dengan kapal-kapal penangkap ikan dengan bobot lebih besar. Di kedua perairan ini sangat banyak kapal berbobot 100-200 GT, bahkan yang tidak berizin.
Menariknya, kondisi tersebut tidak dialami oleh nelayan kecil pada periode 2014-2019. Saat itu Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti menerapkan moratorium kapal-kapal asing. Selain itu Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL rajin menangkap kapal-kapal ilegal. Jumlah kapal dibatasi, sehingga jumlah ikan yang tersedia pun cukup banyak. Nelayan kecil tidak sulit mendapatkan ikan.
Hal ini berubah sejak tahun 2019 (berganti menteri), di mana jumlah kapal penangkap ikan, terutama berbobot besar, naik tajam. Bahkan jumlah produksi/penangkapan ikan di perairan Arafura naik tajam, jauh di atas batas jumlah tangkapan per tahun. Seperti tangkapan cumi di Arafura mencapai 125 ribu ton , sementara batas jumlah yang diperbolehkan hanya 9.212 ton.
Kondisi ini jika dibiarkan, tidak hanya menyingkirkan nelayan kecil, tetapi juga mengancam ketersediaan ikan di perairan Indonesia,
Seberapa besar jumlah kapal penangkap ikan, jaring apa yang mereka gunakan, dan berapa besar hasil tangkapan ikan dapat dilihat perbandingannya dalam artikel berita yang digarap oleh Abdul Somad dkk pada: Bertaruh Nyawa Sampai ke Laut Tetangga